“Keramat” Horor Bergaya Pertunjukan Realitas
Ist |
Jakarta
- Film sudah dimulai, tetapi layar bioskop masih hitam polos. Hanya
sedikit suara grasak-grusuk, diikuti suara perempuan yang sedang
mengetes kamera. Lalu muncul gambar pertama, seorang gadis berambut
pendek dengan senyum manisnya.
Gadis itu bernama Migi (Migi
Parahita) dan pemegang ka-mera itu bernama Poppy (Poppy Sovia).
Kisahnya, ini adalah rekaman gambar pertama behind the scene atau di
balik layar pembuatan pro-yek film berjudul Menari di Atas Angin. Film
itu rencana-nya akan dibuat di Yogyakarta dengan Migi sebagai pemeran
utama perempuan dan Diaz (Diaz Ardiawan) menjadi pe-meran utama
laki-laki.
Jangan ditanya seperti apa kisah film Menari di Atas Angin
yang disutradarai pe-rempuan galak bernama Mia (Miea Kusuma), asisten
sutrad-ara Sadha (Sadha Triyudha), unit produksi Brama (Brama Sutasara),
dan line producer Dimas (Dimas Projosujadi). Hampir tak ada adegan di
dalam film itu, yang ditayang-kan, kecuali proses pembuatan satu adegan
saja, ketika tokoh perempuan yang kehilangan kakinya menyerahkan kado
kepada kekasihnya.
Justru, kisah di balik layar pembuatan film ini
yang menjadi cerita film berjudul Keramat ini. Film Keramat yang
mengisahkan Poppy yang sedang membuat film Menari di Atas Angin. Film
ini disutradarai Monty Tiwa (Maaf, Saya Menghamili Istri Anda, Pocong 3,
XL, Antara Aku Kau dan Mak Erot, Barbie, Wakil Rakyat) dan diproduseri
Chand Parwez Servia dari rumah produksi Starvision. Starvision bekerja
sama dengan Wong Cilik’s Indie Picture Produc-tion, divisi perfilman
indie dari Moviesta Pictures, untuk memproduksi film yang akan beredar
mulai 3 September ini.
Ini bukan pertama kali Monty membuat film
bergenre horor. Sebelumnya, ia membuat Pocong 3 dan menulis naskah
Pocong 2. Namun, ada perbedaan antara film horornya terdahulu, atau film
horor Indonesia umumnya, dengan Keramat.
Monty membuat film
horor-thriller ini dengan gaya dokumenter atau pertunjukan realitas
(reality show). Hanya ada satu kamera yang dibawa dengan tangan oleh
laki-laki di balik kamera bernama Cungkring. Pengambilan gambar terkesan
tidak dibuat-buat dan subjektif.
Cesa David Lukamsyah, supervisor
penyunting gambar, serta Benjamin Tubalawony, penyunting gambar, membuat
film ini terputus-putus, seolah-seolah diambil dari rekaman yang
terputus-putus pula.
Ada kalanya film ini hanya menampilkan layar
hitam saja menandakan kamera mati atau rerumputan yang menandakan kamera
terjatuh. Ada sedikit narasi dari Poppy yang menjadi sutradara
sekaligus pembawa cerita di balik layar ini.
Mistik
Gaya
pengambilan gambar ini mungkin kerap terlihat di program pertunjukan
realitas di televisi. Di film pun gaya seperti ini tidak asing. Film
terakhir yang menggunakan gaya dokumenter seperti ini adalah Cloverfield
(2008), film garapan sutradara Matt Reeves dan diproduseri JJ Abrams.
Hanya
saja, genrenya sedi-kit berbeda. Cloverfield mengi-sahkan sebuah
bencana besar yang terjadi pada malam perpisahan laki-laki bernama Rob
Hawkins (Michael Stahl-David). Di pesta perpisahan itu, saudara Rob
bernama Jason (Mike Vogel) memegang kamera dan merekam komentar
teman-teman Rob satu per satu. Ketika bencana itu terjadi, Jason tetap
menggunakan kameranya untuk merekam, sampai akhirnya kamera itu terjatuh
dan cerita di film itu pun habis.
Monty mengakhiri film ini dengan
cara yang sama, ceritanya pun sama-sama tentang bencana. Jika
Cloverfield mengambil pertistiwa alam karena seekor makhluk raksasa,
Monty menambahkan unsur magis di balik bencana gempa bumi di Yogyakarta
beberapa waktu lalu.
Monty tahu, orang Indonesia senang pada sesuatu
yang magis. Ini juga membuat ia tidak perlu repot-repot menjelaskan
sesuatu jika nantinya ada adegan film yang tidak masuk akal, apalagi
film ini dibuat tanpa skenario. Yogyakarta menjadi tempat yang pas untuk
film ini.
Banyak orang yang percaya bahwa tempat-tempat tertentu di
Yogyakarta masih dihuni makhluk halus. Salah satunya adalah rumah tua
tempat Miea dan kawan-kawan membuat film Menari di Atas Angin itu.
Konon,
tingkah laku kru film, yang kebanyakan anak muda berasal dari Jakarta
itu yang membuat makhluk halus berang dan merasuki Migi. Migi kemudian
bertingkah aneh, seperti perempuan ningrat Jawa yang kemayu. Pesan
perempuan Jawa itu hanya satu: alam marah karena dirusak manusia. Pesan
itu yang kemudian menjadi petunjuk tentang gempa bumi di Yogyakarta.
Ketika
Dimas memanggil paranormal untuk mengusir roh halus itu dari Migi, Migi
justru menghilang. Konon dia dibawa ke dunia lain yang paralel. Dukun
itu membimbing para kru film mencari Migi ke tempat-tempat yang dianggap
angker, antara lain Pa-rangtritis, Candi Boko, dan sebuah hutan angker
di dekat Candi Boko.
Adegan klimaks terjadi di hutan angker itu. Di
situ satu per satu mereka menghilang dengan cara yang yang tidak lazim,
lalu bertemu dengan sekelompok orang yang memanggul jenazah salah satu
dari mereka, dan bertemu de-ngan perempuan berkebaya putih yang konon
penjaga hutan itu. Jangan cari unsur logis di film ini, sebagian besar
peristiwanya sangat tidak masuk akal, seperti cerita-cerita mistik yang
beredar tentang Parangtritis.